Selasa, 06 Oktober 2020

Kebaikan Akhirat Bukan Dunia yang Diperjuangkan


“KEBAIKAN DIPERJUANGKAN”

    Jika di keramaian dan di suasana yang menyenangkan menghambar pikiran untuk merangsang berpikir tentang kehidupan ini, barangkali jiwa akan sulit sekali untuk menikmati betapa berharganya sebuah perjuangan. Yakni usaha untuk mencapai ketenangan batin. Ketenangan ini bukan untuk tujuan kebendaan atau materi saja. Namun ketenangan itu lebih didapatkan untuk meraih cinta kepada Allah. Sebenarnya materi bukanlah segala-galanya sarana meraih ketenangan hidup. Tapi karya akan motivasi dan keyakinan merupakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Andai jiwa ini tak pernah peka terhadap fenomena-fenomena kehidupan yang terdiri dari cobaan, tantangan dan musibah mungkin hati ini akan tertutup dan tak pernah dapat menterjemahkan makna dari hidup itu sendiri.

    Bukankah hidup adalah perjuangan dan usaha? Ini artinya makna hidup hanya dapat diraih bila kita menyadari atau peka terhadap kekuasaan Allah. Ukuran kenikmatan itu adalah munculnya motivasi untuk selalu berbuat baik. Berbuat memberi manfaat terhadap diri sendiri dan maslahat bagi orang lain. Memiliki semangat usaha yang menghasilkan kreatifitas meski wajah dunia tampak dengan gambar-gambar materi tetapi tujuan untuk manfaat itulah cita-citanya. Hanya dengan berfikir, berkreasi dan berkontempelasi inilah, isyarat alam semesta akan dapat dibaca dan diambil hikmahnya. Sebuah makna kehidupan yang berarti , ketika satu sama lain saling bahu-membahu untuk melestarikan keindahan dunia ini. Berbuat dengan beramal yang kreatif untuk menjadi lebih baik. Bukan berarti tujuan hidup ini semata-mata hanya untuk keduniaan. Tapi paling tidak keteraturan, ketenangan dan keindahan dunia ini menjadi salah satu bagian terwujudnya kemuliaan di akhirat kelak. Ketika mata ini memandang dunia dengan  indah sementara wajah akhirat menjadi tampak gelap. Inilah yang menjadi tidak benar dalam menentukan tujuan hidup.

    Kegagalan itu terjadi disebabkan oleh dominasi nafsu yang sudah menjadi pemujaan. Berlebihan terbelenggu kepuasan nafsu daripada mencari muatan nilai ibadah dan manfaatnya. Sakitnya hati yang disebabkan oleh nafsu yang buruk itu membutakan rasa kepedulian terhadap sesama. Sebab setiap fenomena alam menjadi berubah karena kerakusan manusia itu sendiri.

    “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa (nafsunya) sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengarannya dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberikan petunjuk sesudah Allah? (Membiarkannya sesat) Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (45:23).

    Jelaslah, nafsu merupakan pemicu gelapnya hati. Tak mampu lagi melihat keluar. Melihat jeritan alam, tangisan penderitaan apalagi sikap peduli, sebab gejalanya mata hati yang menimbulkan butanya jiwa menyebabkan hati nurani tak pernah menghayati proses kehidupan ini. Tanda-tanda tersebut tampak dalam penghambaannya terhadap bentuk materi. Ini artinya mendahulukan kepentingan jasmani daripada rohani. Sedangkan kepuasan jasmaniah lebih bersifat sementara tak akan lama dapat dinikmati.

    Kenikmatan yang dirasakan atas terpenuhinya kebutuhan jasmani itu semu, tak abadi. Saat itu dapat dirasakan namun tak akan lama rasa bosan dan jenuh pun muncul. Disinilah letak lemahnya manusia. Kenikmatan seperti apapun hanya sementara sifatnya. Disaat ini sudah banyak terjadi dimana hampir sebagian generasi muda disekitar kita telah hilang budi pekerti yang baik itu. Sepertinya pendidikan sopan santun, adab tata karma dan nilai-nilai agama telah luntur, bahkan hilang. Sungguh sangat memprihatinkan. Seolah agama itu hanya mode dan simbol saja. Tak perlu sampai pada penerapan perilaku sehari-hari. Mulai banyak bermunculan kumpul kebo tapi dengan pakaian yang islami. Berjenggot, berpeci tapi masih korupsi. Mau dari mana lagi jika tidak dimulai dari diri sendiri dalam merubah jaman ini? 

    Ketika Allah memberikan akal dan perasaan ini kepada manusia maka secara alamiah kesadaran manusia itu terbagi menjadi dua, yakni : kesadaran pikir dan kesadaran hati. Kesadaran pikir yang diwujudkan melalui konsep merencanakan hidup dengan benar. Yakni sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah, serta dibarengi dengan kesadaran hati yang diwujudkan melalui kepekaan atau kepedulian terhadap masalah-masalah sosial, begitu juga yang sesuai dengan Islam. Sebab inti dari kenikmatan hidup ini tergantung pada akal dan hati. Jika keduanya telah tertanam sifat yang lembut, niscaya ketentraman akan didapat lembutnya hati terlukis dalam tabiat, perilaku keseharian, menikmati suatu kebahagiaan dengan apa adanya. Maka kejujuran, keikhlasan dan kesederhanaan menjadi pola hidup yang mensejahterakan.

    Dalam meraih kemuliaan di dunia ini tidaklah hanya sekedar menaikkan derajat status sosial, yang diukur dengan kemewahan dunianya. Namun hakekatnya adalah nilai manfaat dari hidup berdampingan degan makhluk Tuhan yang lainnya. Bermanfaat bagi sesama dengan manusia dan makhluk lain yang memberi manfaat kepada kita. Sedangkan hidup yang bermanfaat bagi manusia diwujudkan melalui hubungan batiniah maupun lahiriah. Jika batin diisi dengan nilai-nilai yang luhur maka tebentuklah sosok manusia yang memiliki sifat teladan. Sedangkan keteladanan didapatkan melalui dua hal yang tak terpisahkan, yakni menuntut ilmu agar tidak gelap dan mengamalkannya agar menjadi cahaya penerang.

    Ilmu merupakan bagian dari perisai datangnya nafsu sebab kandungan dari ilmu itu sendiri dapat memotivasi manusia berbuat sesuai dengan teorinya. Derajat ilmu yang sangat tinggi membawa manusia pada tingkatan mulia. Predikat makhluk yang paling sempurna di muka bumi ini disebabkan oleh kelebihan manusia yang dapat berpikir, merasakan dan menyadari akan kejadian di dunia ini. Dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Disisi yang lain fitrah manusia diberi dua pikiran yang membedakan, apakah ia termasuk ke dalam kelompok beriman (berTuhan) kepada Allah dan syirik tak mempercayai adanya Allah. Itulah sebabnya, manusia yang memiliki bekal ilmu ia akan cenderung mencari Tuhannya. Sebab ia sadar bahwa jalan mencari Tuhan harus melalui tahapan-tahapan yang tidak rendah, yaitu belajar. Belajar membedakan kebaikan dan keburukan sesuai dengan ajaran memagarinya, setiap perilaku agar tidak menyebabkan kesesatan dari refleksi kehidupan yang digambarkan melalui perilaku akan memberikan manfaat bagi orang lain. Jadi, orientasi hidup seseorang tentunya hanyalah memberikan suatu manfaat bagi dirinya dan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar