Rabu, 18 September 2019

"Batal dari Imam"

"Jadi Makmum"

Sebenarnya berat hati untuk menulis sebuah catatan kelam dari sebuah perjalanan keluarga seorang sahabat, tapi judes juga kalau tidak saya tulis. Perjalanan ini, teman chating saya ada yang memberi istilah dengan "makmum." Sangat jelas, istilah ini bermakna mengikuti perilaku yang baik bukan yang neko-neko. Seperti dalam hal ibadah, ketaatan dan musafir. Tapi bukan itu dalam kesempatan ini. Terdengar unik dan lucu ketika istilah "makmum" digunakan untuk menyindir seorang yunior terhadap seniornya dalam urusan etika bergaul. Seorang senior yang alim akan tampak norak cepat menojol jika melakukan penyelewengan. Misalnya, korupsi,nepotisme dan tak jarang bahkan saat ini ada istilah selingkuh. Nah, secara etika semua penyelewengan itu senilai, "tidak senonoh" gitu kata orang. Tapi rasanya seperti hal yang biasa saja kita dengar, bahkan menjadi kayak perang identitas saling menyandera. "Berani buka hancur, kamu juga ikut hancur." begitu kira-kira.
Seorang teman perempuan kuliahku bertanya tentang kabar seniornya yang dulu membimbing ngaji. Saya pun menjawab pertanyaan itu. Dengan jawaban "tumben ingat" apakah terdengar aneh dengan dia ?Singkat cerita pertanyaan ini menjadi sebuah chating dan diskusi lucu. Lucunya setiap kali teringat dengan penyelewengan sang pembimbing itu mucul latah "makmum." Saya cuma senyum-senyum. Harusnya saya marah dan jengkel karena penyelewengan itu diluar dugaanku. Alim, santun, ramah yah..macam-macam lah.Kok berani begitu. Tapi, mejadi lucu ketika saya disindir "makmum" yang tidak baik itu. Ya janganlah, meyeleweng itu perbuatan yang membasahi diri dengan air comberan. Tutup hidung, tutup telinga tapi dilihat banyak mata. Jadi bergaul sesuai aturan tidak berlebihan, tidak mudah melamun, mensyukuri apa yang dimiliki, menikmati yang sedang dimiliki tentu akan terhindar dari penyelewengan agar tidak menjadi "imam" yang berkasus. Hemmm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar