Kamis, 16 Juni 2022

Matinya Hati Nurani

KOMITMEN TERHADAP KEYAKINAN

Sebagian besar dari kita masih banyak yang kurang yakin akan masa depan. Bayangan-bayangan yang suram menghiasi pikiran. Bukan karena mimpi buruk melainkan disebabkan oleh ketakutan yang berlebihan dan tak berdasar. Mungkin tak sebanyak orang yang dapat mengerti apa sebuah arti tentang masa depan. Namun banyak sebagian orang yang mengabaikan masa depan. Ia tak merasa terbebani dengan masa depan. Hidupnya biasa-biasa saja seolah tak ada persoalan. Dari masa ke masa perubahan itu akan muncul dengan sangat cepat. Mulai dari kebutuhan untuk memuaskan diri sampai dengan aktualisasi diri (pengabadian)

    Ketika diri ini dipengaruhi oleh berbagai macam perubahan lingkungan, kebutuhan tak dapat dihindarkan begitu saja, sebab ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian itu terwujud apabila persoalan kebutuhan yang memuaskan diri telah tercukupi terpenuhi. Di zaman yang modern ini orang tidak lagi berfikir rumit-rumit. Kebanyakan menginginkan hal-hal yang praktis, tidak terlalu memperhatikan proses. Lebih menyukai hasil. Lebih suka mengkonsumsi daripada memproduksi dan lebih suka menikmati daripada berusaha. Maka dampak dari sifat-sifat tersebut muncul gejala apatis dalam diri masyarakat. Kurang peduli terhadap persoalan sosial, hedonis dan egois. Apabila seseorang mendapatkan kenikmatan itu adalah keberuntungan mereka dan apabila diri kita mendapat kenikmatan itulah kenikmatan pribadi. Tak peduli dengan nasib orang lain.

    Permasalahan yang tak kalah pentingnya adalah lunturnya nilai-nilai kemanusiaan di masyarakat. Terutama pada diri anak muda. Secara kasat mata dapat dipastikan kaum muda masih banyak yang kurang dapat memahami nilai-nilai kemanusiaan. Masih banyak  menyia-nyiakan waktunya hanya untuk aktivitas yang tidak bermanfaat. Nongkrong di tempat–tempat ramai. Pergaulan bebas yang lepas dari aturan. Boros dalam penggunaan uang. Masih banyak lagi hal–hal yang tidak bermanfaat lainnya. 

    Manusia merupakan makhluk yang mulia. Buktinya adalah di dalam diri manusia terdapat : akal, perasaan, fisik dan naluri. Dua unsur yang tidak dimiliki oleh makhluk lain adalah akal dan perasaan. Fungsi dari akal sendiri  adalah membantu proses hidup manusia untuk dapat berpikir, mengendalikan dalam mempertahankan hidupnya. Sedangkan perasaan berfungsi sebagai mahkota kemuliaan dalam rangka menerima kebenaran (keyakinan). Inilah prinsip dasar kelebihan manusia yang harus dijaga dan dipertahankan prinsipnya.

    Namun sayang di zaman yang sudah modern ini tampaknya antara akal, perasaan dan naluri itu sudah mulai terganggu. Ini artinya pemikiran tentang nilai-nilai kemanusiaan yang sangat luhur itu sudah luntur alias tidak diyakini oleh sebagian generasi muda, sehingga yang muncul adalah mendewa-dewakan naluri. Misalnya banyak kasus kita temukan di sekitar kita. Seorang anak yang masih belia ABG saling berdekapan, ciuman bahkan sampai raba-raba di tempat umum, di jalan-jalan, di tempat hiburan bahkan di tempat ibadah. Ini adalah bukti bahwa nilai luhur kemanusiaan itu telah luluh. Fungsi otak dan hati telah dikuasai oleh kebebasan. Tak ada bedanya dengan hewan. Dimana-mana berbuat mesum tanpa ada peraturan. Sebab hewan tak punya akal dan perasaan. Ia hanya memiliki fisik dan naluri. Sungguh merupakan sebuah keprihatinan yang begitu mendalam. Sayang mereka tak mengetahui akibat-akibatnya, minimal untuk dirinya sendiri. Tapi yang menjadi sangat mendasar adalah “matinya hati nurani”.

    Sifat-sifat itu membuat dunia ini menjadi semakin tak karuan. Yang benar dikaburkan oleh kebatilan yang direkayasa. Sedangkan kebatilan menjadi seolah-olah benar karena didukung suara mayoritas. Barangkali hidup di era modern ini urusan moral akan mengalami kemunduran yang sangat terbelakang. Sebab orang tak lagi berbasa-basi untuk mendapatkan materi. Peradaban hanyalah kisah klasik yang hanya patut untuk dibuat cerita. Sangat jelas naluri nafsu dan kepuasan itu memang hak bagi mereka. Tapi harga mahal dari sebuah moral seolah-olah sudah sangat murah bahkan sudah tidak berharga lagi. Sebagian yang lain disebabkan oleh trend kemajuan zaman. Ironis sekali bagi mereka yang secara fisik tampak santun tetapi ternyata pemuja nafsu dan kepuasan. Sebuah pengingkaran terhadap keyakinan moralitasnya. Kepribadiannya diselubungi oleh pemberontakan sebuah aturan. Ini disebabkan oleh lingkungan yang bobrok. Adab tata susila tak melekat dalam diri para kaum muda. Seenaknya saja mengumbar nafsunya di muka umum.

    Belum lagi masalah kearifan manusia terhadap alam semesta yang memayungi diri kita ini. Terlalu banyak kecerobohan yang dibuat oleh manusia dari yang tidak disengaja maupun yang disengaja. Entah syetan mana yang menguasai pikiran mereka hingga sangat tega memperlakukan dunia ini dengan merusaknya. Semua rusak! Fisik, moral hingga peradaban. Jargonnya adalah “Jaman Modern”. Tapi sayang wujud dari modern itu sebenarnya tak adil. Disatu sisi kemajuan itu hanya diukur dari berkembang pesatnya teknologi, tapi disisi yang lain persoalan kemanusiaan moralitas seolah hanya ditelan badai. Disana sini banyak ditemukan kasus-kasus kriminal, bencana.

    Memang kisah dari zaman dulu sebenarnya sama, yang membedakan hanyalah waktu. Tapi apakah sudah tak ada manusia yang peduli lagi terhadap persoalan ini? Jika ada orang-orang yang punya komitmen tinggi untuk berupaya merubahnya. Mungkin dapat dihitung dengan jari. Kalaupun mereka peduli masih saja banyak hambatan dan kekurangannya. Sehingga banyak pula beban yang harus disingkirkan. Disisi yang lain perbandingan pendukung moralitas dan demoralitas masih didominasi oleh demoralitas. Ini dibuktikan melalui jumlah pameran. Banyak kita lihat orang-orang melanggar hukum, mereka tak lagi menghormati peraturan apalagi adat istiadat. Ini menunjukkan bahwa kualitas beragamanya dipertanyakan. Sebab bisa jadi kulit luar hanyalah mengikuti trend saja. Tapi tidak diikuti dengan kualitas iman yang bermuara pada perbuatan.

    Orang bilang saat ini zaman reformasi yakni zaman era keterbukaan siapa saja harus merubah sistem dalam mengatur lembaganya. Masyarakat bebas untuk menilai mengritik serta protes. Zaman ini juga zaman peralihan dari orde yang otoritarian menuju orde yang multidimensi. Tapi ada pula yang mengatakan bahwa zaman ini termasuk krisis multidimensi. Ini memang benar! Hanyalah orang yang memiliki kepekaan saja mereka dapat berkata tentang perubahan. Tapi yang sangat disayangkan sekali adalah perubahan yang hanya sepihak. Yakni perubahan kepentingan. Artinya setiap orang tidak dapat mewujudkan kepentingannya secara bebas.

    Sulit untuk dipercaya apakah sistem kehidupan sekarang ini sudah mengarah pada kesejahteraan yang sesungguhnya. Sebab yang menjadi pertanyaan adalah : bagaimana cara mengakomodasikan orang-orang yang lemah. Yakni lemah psikologi, lemah materi, maupun lemah fisik. Mungkin nasib belum mujur bagi mereka. Bisa jadi timbulnya kelemahan itu disebabkan oleh orang lain yang ada di sekitarnya, keadaan yang kurang mendukung, atau fasilitas yang tidak memadahi.

    Jangan kemudian mudah memberi statmen bahwa mereka memang tidak mau berusaha. Tapi memang garis kehidupan itulah yang menyebabkan kondisinya menjadi serba lemah. Orang lemah bukan berarti tidak mampu untuk menghadapi hidup ini secara normal dan dinamis. Ia bukanlah orang yang tak memiliki konstribusi di tengah-tengah masyarakat. Penilaian terhadap mereka tentang pengetahuan yang kurang, usaha yang kurang dan tidak mau berusaha merupakan penilaian yang terlalu diskriminatif dan pelecehan. Secara teori usaha keras akan menghasilkan kesuksesan, tapi kesuksesan yang seperti apa? Apakah statusnya naik menjadi orang yang dipercaya orang lain? Ataukah bertambahnya fasilitas hidupnya? Mungkin bolehlah kita mengatakan seperti itu. Tapi rasa sosial itulah sebenarnya yang menjadi barometer kesuksesan seseorang. Kesuksesan dalam bentuk status maupun materi masih bersifat pribadi, belum memiliki nilai kebaikan bagi orang lain. Pemahaman dan pengertian mengenai profesionalitas dan kecerdasan juga sangat subyektif. Ini perlu ada koreksi yang seksama. Jangan sampai mengambil yang bagus tapi menyisakan sampah yang berbahaya. Istilah kasarnya meski sampah itu tampak kotor tapi gunakanlah untuk barang yang bermanfaat sesuai dengan fungsinya. Jangan kemudian menganggap orang yang tak sesuai dengan fungsinya. Jangan menganggap orang yang tak sesuai dengan keinginan, kemudian menyimpulkan mereka kurang cerdas, tidak kreatif atau tidak ada yang diandalkan. Sayang sekali model pengujian seperti penyaringan tenaga kerja lebih cenderung mengalahkan orang daripada memotivasi. Ini timbul karena jumlah pelamar yang banyak  bekal dan pengarahan yang kurang. Tidak adanya perjanjian secara psikologis. Artinya obat hati agar tidak kecewa terlalu dalam. Ketika sang pencari kerja tidak lolos seleksi. Kejadian seperti ini membuat motivasi untuk mandiri menurun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar